Memori II (Semua Tentangmu)

0komentar
Ketika.
Sang surya terlelap.
Symphony malam mulai terdengar.
Rona rona jingga melukis langit.

Ketika itu ku rindukan peluk hangatmu.

Semilir angin terasa berbeda.
Ini lebih menusuk.
Menancap hingga sendi sendi tak lagi bisa menopang badan ini.

***
Aku rindu dekap hangatmu sayang.

Malam tak segelap malam ketika itu.
Dimana kita menatap langit yang penuh gemintang.
Bahkan sinar rembulan terangi deburan ombak yang sedari tadi hanya terdengar sayup sayup di telinga.
Dekapan eratmu hangatkan tubuh yang dihembuskan angin malam. Desah malam tak terasa lagi!

***
Aku rindu genggam tanganmu.

Ingatkah engkau.
Di Saat kita lalui bebatuan. Langkahkan kaki di tanah impian. Tanganku dan tanganmu.
Tak bisa dipisahkan. Semakin erat dan menghangat.

***
ku ingin kecupan itu.

Saat lolongan anjing berkumandang. Malam yang hening dan sepi mulai mencekam. Kau berikan aku kecupan. Tepat disini. Aku masih bisa rasakannya. Kecupan itu menjadi temanku, penghantarku pulang kerumah.
Dan temaniku hingga terlelap.

***
kini kau nun jauh disana.
Ku tak bisa lihat senyum itu lagi.
Dekap hangat yang slalu kau berikan dulu, tak bisa kurasakan kini.

***
Aku kedinginan disini.
Ku ingin kau peluk tubuhku seperti yang kau lakukan ketika itu.
Jangan lepaskan.
Karena ku tak ingin kau pergi.
Genggaman tangan yang dulu enggan kau lepas hanya menjadi fatamorgana kini.
Aku masi rasakan halus tanganmu di tanganku.

Kini malamku tak seindah ketika itu. Aku tak bisa terlelap tanpa kecupan itu. Aku ingin kau kecup lagi bibir ini agar aku bisa terlelap. Dan ku ingin kau hadir dalam setiap mimpi mimpiku.

Uh...
Inikah terjangan rasa rindu akut?


Di atas kasur usangku. 19.04.10.

Aku rindu kamu sayang.

Sumpah sang istri (Kutipan Buku Harian Minah)

0komentar
Aku terlahir menawan. Wajah cantik. Hidung mancung. Bibir tipis. Rambut panjang terurai.

Mungkin setiap lekuk tubuhku datangkan birahi pada setiap kaum adam. Membuat ereksi pria pria yang melihatku. Jangankan menatap, mencuri pandangpun birahi mereka akan memuncak.

Iya.
Wajahku memang cantik. Dengan tubuh tinggi. Kaki jenjang. Dada membusung dan pantat yang kencang. Pas untuk ukuran gadis 21 tahun sepertiku.

Tak sedikit lelaki yang menggodaku. Memujiku, bahkan ada yang sampai ingin menjadikanku istrinya.

Siapa aku sebenarnya?
Aku bukan artis!
Aku hanya gadis 21 tahun. Datang dari keluarga sederhana dan hidupku pun sederhana.

Dengan kemolekan tubuhku ini aku bisa menggaet orang kaya. Tapi aku tau diri, harta tak kan di bawa ke liang lahat.
Dan apa mungkin para lelaki akan setia kepadaku ketika aku sudah mulai keriput.

Apakah mereka masih terpuaskan ketika tubuh ini tak seindah sekarang?
Aku percaya, mereka hanya ingin nikmati tubuh ini. Bukan cintai aku sepenuh hati dengan segala kekurangan yang ku miliki.

Hingga suatu ketika dia muncul. Dia bak pangeran berkuda nan gagah. Yang akan membawaku ke istana nun megah disana.
Tapi apa dia akan terima aku bukan karena ingin menikmati tubuhku.
Aku tak ingin hanya menjadi pemuas birahinya.

Aku akan terimamu apa adanya, akan ku jaga cinta kita hingga ajal merenggut salah 1 dari kita, ujar pria gagah itu.

Senyum sumringah aku dibuatnya. Seakan ada taburan bunga dari angkasa. Akupun dibuatnya melayang.
Hingga akhirnya kuputuskan untuk mau bersanding bersamanya. Bukan istana megah memang,tapi cukup untuk lindungi kami dari kemurkaan alam.

Kami bahagia. Tapi ini hanya permulaan. Semua berawal dari sini. Dari kebersamaan yang kita jalani setiap detiknya.

Malam malam yang kami lalui bersama selalu indah. Ketika ia nikmati tubuhku. Bukan karena nafsu, tapi dengan segenap ketulusan cinta yang ia miliki.

Apakah benar ia mencintai aku?

Jawabannya mungkin ia, mungkin juga tidak.

Hingga suatu ketika hari kiamat tiba. Aku didiagnosis dokter mengidap kanker payudara. Tubuhkupun tak lagi sesempurna dulu. Kurus kering. Dada yang tak lagi membusung. Wajah cantikku pun hanya menyisakan kerut keriput.
Inginku menangis.
Aku sudah membusuk.
Aku digerogoti penyakit yang akan buat semuanya hancur.
Dan benar saja. Ia membawa selir selirnya kerumah. Dihadapanku ia bergumul. Penuh birahi. Seperti binatang yang dalam musim kawin. Desahan desahan ku dengar setiap malam. Menjadi tontonnanku setiap saat.

Aku juga ingin diperlakukan seperti itu. Aku wanita dan aku juga istrimu. Diranjang itu jua kau memerawaniku. Tapi apa? Sikapmu sebusuk bangkai anjing dijalanan. Bau, penuh belatung.

Apa ini cinta yang kau janjikan padaku?

Linangan air mata seakan tak bisa dibendung. Membasahi setiap inci tubuhku. Tubuh yang dulunya membuat semua pria ingin ber-onani.

Tak sanggup. Aku sungguh tak sanggup akan cobaan ini. Lebih baik mati ketimbang aku melihat binatang sepertimu hidup diduniaku. Toh aku juga mau mati. Mungkin tak lama. Lusa atau seminggu lagi. Sang dewa kematian akan menjemputku.

Aku minah. Aku bersumpah atas nama Tuhan dan Ibuku. Jika hendak aku mati nanti, aku tak ingin kau menyentuh tubuhku.
Demi Tuhan dan Ibuku, biarpun aku bersimbah darah jangan sekali kali kau mendekatiku. Atau kau akan mati. Di makan belatung atau di makan dosa dosamu sendiri.

-kutipan buku harian minah-




17.04.10.
Ketika cinta di khianati.

Memori.(Di Depan Gereja Itu)

0komentar
Pagi itu.
Kau masuki pagar. Meninggalkan dengan seutas senyum. Kau lepas genggaman tanganku. Kau berbisik,'aku hanya sebentar sayang,tunggu aku'. Kau menghilang di balik hiruk pikuk hari minggu di gereja tua itu.

Ketika itu.
Matahari yang terik. Kendaraan yang lalu lalang. Dan teriakan pedagang asongan yang menusuk kuping. Bau keringat bercampur dengan asap kendaraan yang hilir mudik di hadapanku. Bak setrikaan yang di gerakan ibuku dirumah. Ah,aku rindu celotehan ibuku.

Sejam yang lalu.
Kau masih memelukku. Memberi kehangatan di pagi yang membeku. Kau tak lepaskan tanganmu. Dan akupun tak ingin lepaskannya.

Gelisah.
Ketika waktu terus berputar. Kau tak kunjung keluar. Jantung berdegup kencang dan keringat dingin bercucuran. Sementara perutku mulas diantara otakku yang sedang memikirkan keadaanmu. Aku khawatir sayang,kau begitu lama di dalam. Gumamku dalam hati.
Tapi kau sedang berdoa,melakukan ibadahmu. Aku kan sabar disini. Di depan gerbang gereja tua yang tampak kusam dari luar. (aku tak tau tampak dalamnya,karena aku belum tapakkan kakiku disana.)

2 jam berlalu.
Aku semakin gelisah. Pikiranku macam macam. Apa kau baik baik saja? Apa kau pergi,tinggalkan aku sendiri disini? Hanya seutas senyuman yang kau tinggalkan untukku.

Kau kembali.
Di tengah kekacauan di depan gereja. Orang orang sibuk memindahkan mobil dan motornya. Tapi aku bisa melihatmu dengan jelas. Atau aku bisa rasakan jika kau sudah mendekat.

Kau tersenyum kembali. Sembari melangkah dengan wajah merona. Kau tampak bahagia sayang. Raut wajahmu sungguh bahagia.

Kau pun kembali meraih tanganku. Menggenggamnya erat. Hangat memang. Atau entah tanganku yang kedinginan.

Maaf,lama ya? Kau berucap.
Aku hanya menggelengkan kepala. Tapi sesungguhnya aku tak rela jika kau tinggal terlalu lama.


Di atas kasur usang.
13.04.10.

Ku tak kan lupakan tentang gereja itu. Senyum manismu itu selalu ku kenang.

Di sudut kantin.(apa mungkin aku terkenal)

0komentar
Wanita di sudut itu kawan.
Kerlingan matanya buat semua lelaki jatuh dalam buainya.
Bulunya matanya lentik.
Berkedipkedip tapi tak binal.

Iya.
Ku akui aku terpana melihatnya.
Tapi tak hanya aku.
Lihat!
Semua mata lelaki yang ada di kantin ini tertuju pada seorang wanita manis berkulit kuning langsat,pipi berpendar merah dan kerlingan mata yang menawan.

Dia begitu memukau semua insan.
Semut yang kecil itupun berhenti berciuman dengan sesamanya hanya karena ingin mendekati dan menyentuh bidadari itu.

Shit!
Aku dikalahkan semut yang se-upil itu.

Kantin kumuh ini berubah jadi taman bunga.
Itu karena dia.
Dia bawakan harum berjuta bunga.
Taburkannya di setiap sudut kantin penuh sesak,kumuh,bau peluh.
Bahkan curut pun juga jadh pelanggannya.

Dia sendiri.
Sendiri menguyah chitato di sudut kantin kampus ini.

Tak ada yang mendekatinya.
Kecuali semut!

Huh.
Diriku sungguh tersiksa.
Terpenjara diantara keberanian dan kepengecutan yang ku punya.

Sudah sejam aku perhatikan dia.
Makananku dihabiskan lalat.
Mataku tak bisa lepas dari dia.

Hening tapi tak mencekam.
Degup jantung terasa semakin kencang.
Berguncang bak gempa bumi.
Luluhlantakkan diriku ini.

Apakah ini jatuh cinta pada pandangan pertama?
Atau hanya aku kagum semata?

Ups...
Dia tau aku memperhatikannya.
Dia tau aku mencuri pandang padanya hingga makananku dihabiskan lalat yang lahap karena kelaparan.

Hening mulai mencekam.
(bukankah di kantin ini ramai? Mengapa terasa hening?)
darahku membeku.
Semua fungsi organ vital tak bekerja.

Aku mati suri kawan!

Aku tak sanggup lagi tuk memandangnya.
Aku takut jika ia menghampiriku menampar atau menyiramku dengan teh botol yang ada di genggamannya.

Aku tertelunduk.
Diam membatu.

Aku tersentak.
Sebuah tangan menepuk pundakku.
'hey,kamu andi kan?'
suara merdu terdengar.
Jantungku berdegup tak karuan.
Siapa orang dibalik suara merdu ini?
Sementara pandanganku terpaku di sudut kantin dan menyadari bahwa dia menghilang.

Janganjangan dia dibelakangku' racauku dalam hati.

Aku menjawab dengan gagap,membalikan badan dan melihat yang mpunya suara.
'iya,aku andi,dan..'
bibirku di tutupnya dengan telunjuknya.
Bisa kurasakan halus jemari dan wangi kulitnya.

Sst..jangan banyak bicara. Aku tau kau perhatikanku sedari tadi. Dan aku tau kau andi. Mahasiswa jurusan arkeologi yang tersohor seantero kampus. Siapa yang tak kenal kamu?
Dia mengoceh dengan jarak hanya sejengkal dari tubuhku.

Aku tersenyum.
Bukan senyum bahagia.
Aku bingung.
Sejak kapan aku punya penggemar?

Ah persetan.
Dia manis nan cantik.
Apa salahnya aku dekati dia?

Mau kah kau makan semeja denganku? Ajaknya penuh senyum.

Aku menganguk layaknya kerbau yang di cocok hidungnya.

Kamipun semeja.
Makan bersama.
Hingga senja mencekam.
Namun aku masih bingung.

Aku ini siapa?
Sehingga seorang wanita cantik mau bersanding denganku disini.
Meski hanya semeja berdua.
Bercengkrama meski aku tak tau siapa dia sebenarnya.


Di sudut kamar usang.
12.04.10.

Apa mungkin aku terkenal?

Ketika di Taman Ini.

0komentar
Iya.
Di taman ini kita pernah bersama.

Dan.
Di taman ini kau perawani bibir ini.

Ketika detik itu.
Lembayung jingga menghiasi langit.
Perlahan bintang mulai bangun dari istirahatnya.

Kita berdua.
Duduk bersama.
Berpeluk hangat.
Memberi kecupan penuh cinta.

Ingat.
Ketika senja itu kau perawani bibirku.
Di taman.
Di depan pancuran ini.

Burung burung bernyanyi.
Bermain air, dan apa mereka menonton kita?

Ah sudahlah.
Itu hanya burung.

Di bangku di taman penuh bebunga.
Yang mekar bak musim semi.
Guratan bahagia tersirat di wajahmu.
Kau katakan, 'aku sayang kamu'.

Itu ketika kita lewati senja penuh warna bersama di depan pancuran disaksikan burung yang bernyanyi dan mencelupkan tubuhnya ke air.

Ingat itu sudah dulu.

Sekarang.
Kau menghilang.
Membawa segenap angan kita bersama.

Kau pergi membawa sejuta kasih yang ku berikan disetiap kecup mesra dikeningmu.

Kau berlari setelah kau perawani bibir ini.

Apa hanya sampai disitu arti kata sayangmu padaku?

Linangan air mata tak'an bawa kau kembali lagi kemari.
Tak'an membawa kembali ke taman dimana kita memadu kasih bersama.
Dimana semuanya menjadi indah.

Bayanganmu pun tak'an tampak di hadapanku saat ini.

Apa kau takut?
Takut tlah buat ku sakit?
Takut jika aku kan menamparmu?
Menyiramkan air di wajahmu?

Mana semua janji manis tentang masa depan kita bersama?

Kau bawa semuanya.
Separuh nafasku yang kau hiruf dulu.
Darah darahku yang tlah jua mengalir di nadimu.

Aku layaknya mayat hidup.
Semua hidupku ada padamu.

Jika kau mendengarkan pintaku.
Tolong kembalikan jiwaku.
Meski hanya terucap kata maaf dari mulutmu.
Meski kau tak'an kembali dalam dekap hangatku.


08.04.10.

Semua darimu hilang.
Purnama pun tak'an bisa hadirkan bayanganmu.

Jadi bintangmu.

0komentar
Ketika itu kita terdiam berdua. Pandangi sejuta bintang diangkasa. Ketika itu kau menunjuk keaatas. Menunjuk ke 1 bintang yang paling terang. Bintang terindah yang pernah ku lihat.
Kau inginkan bintang itu. Kau ingin aku menggapainya untukmu.

Tapi.
Maaf, ku tak kan bisa menggapai bintang itu. Terlalu tinggi. Terlalu mustahil.

Aku tak takut ketinggian. Tapi biarkan aku jadi bintang dalam hidupmu. Menjadi lentera yang mampu terangi setiap malam malam kelammu. Relakan aku jadi bintangmu. Aku takkan biarkan kau larut dalam kegelapan.
Secercah sinarku takkan kalah akan sinar bintang yang kau tunjuk. Kan ku biaskan cahayaku ke setiap penjuru duniamu.

Apakah kau masih inginkan bintang itu? Ketika ku kan bersedia jadi bintang hidupmu?


Ubud.
6.4.10.

Malam berjuta bintang. Dimana bintang jatuh itu? Aku ingin ucapkan 1 permintaan, tentang aku dan dia.

Bebas.

0komentar
Siapakah engkau?
Duduk terdiam di tangga depan surau itu.

Kakimu mengglayut.
Seirama gemericik air hujan yang jatuh dari langit.
Menerpa genting lalu hentak'an bumi.

Aku kehujanan, bolehkah aku berteduh?
Aku bergumam dalam hati.

Ah sudahlah.
Aku sudah basah kuyup.
Ku beranikan tuk berteduh di surau itu.

Dia.
Dia tetap membisu.
Hanya kaki mengglayut.
Bermain air.

Wajahnya tak tampak.
Dia berjilbab putih.

Tuhan.
Inikah malaikatmu?

Tapi aku belum menatap wajahnya.

Kilat mulai mencabik cabik kulit langit.
Dengan kuku kuku tajamnya.
Ia tetap disana.
Membisu seperti tadi.

Aku hanya terdiam.
Sembari hangatkan badan.
Ku usap usap kedua telapak tanganku.

Kenapa ia tak bergerak?
Pikirku.
Apa dia orang gila?
Atau aku yang penasaran hingga kegilaanku muncul?

Logika mulai tak berjalan.

Ku beranikan diri tuk duduk menghampirinya.

Jarak kami cukup dekat.
1 meter mungkin.

Dia tetap membisu.

Aku pun mengikuti gerak kakinya.
Bermain dengan air.


Apa apaan ini?
Aku benar benar gila!

Kepalanya mulai bergerak.
Seirama dan matanya menatapku.

Sial!
Dia memandangku.
Sekarang aku yang membatu.

Wajahnya cantik.
Dia benar benar bidadari kiriman sang pencipta.

Aku rapuh.
Lemas.
Tak mampu berkutik.
Saraf saraf tak berfungsi lagi.
Jantungku tak sanggup memompa darah ke seluruh tubuh yang penuh daki ini.

Ah sudah.
Tujuanku disini hanya berteduh.
Tapi aku penasaran akan dia.

Ini sudah 1 jam.
Dan kami masi diam seribu bahasa.

Ok.
Aku kan bertanya.
Tapi menanya apa?

'Nona,kenapa kau gerakan kakimu,bermain dengan air?'. Akhirnya aku bertanya.(yesss)

Dia kembali menatapku.
Tersenyum.
Bibirnya mulai bergerak.
'Air bisa tenangkan jiwaku mas,tak ada lagi kebohongan ketika hujan menghujam setiap lekuk tubuhku'.

Gadis itu berlari.
Di depan surau ia kehujanan.
Tertawa bak orang gila.
Menangis seperti bayi yang baru di lahirkan.

'Aku ingin bebas.
Lepas dari segala belenggu yang selama ini menyiksaku.
Terimakasih Tuhan,kau tlah turunkan hujan untukku'.
Ia berteriak.
Ia menangis.

Aku tak berani hampirinya.
Aku terdiam.
Menatapnya.
Menatap seorang gadis mungil.
Bidadari kiriman Tuhan.
Dapatkan kebebasan yang ia cari.

Sunday, April 4, 2010 at 9:44pm

hidupkan aku kembali.

0komentar


Dan bila.

mulut mulai mem-batu tak mampu bergerak.

tubuh ini tak dialiri darah lagi.

ketika itu yang ku inginkan hanya kau.


ku ingin kau hidupkan aku kembali.

hidupkan aku dari kematian yang sesaat ini.



2.04.10
di atas ranjang usangku.

Jalan tak bernama.

0komentar
Di penghujung jalan tak bernama ini.
Dua sejoli bergandeng tangan bersama.

Setiap senja.
Meski terik.
Walau gerimis.
Tangan mereka tetap terbelenggu.

Ketika itu musim gugur tiba.
Dedaun bertaburan hiasi jalan panjang itu.
Bebunga tak lagi mekar.
Hanya terjatuh, hiasi setiap langkah yang mereka lalui.

Angin.
Hembuskan setiap nafasnya.
Menggugurkan bebunga nun indah itu.
Semakin ia mendesah.
Bebunga semakin semarak hiasi jalanan tak bernama.

Hanya mereka.
Hanya mereka yang senantiasa lewati setiap inci jalanan tak bernama itu.

Sudah berapa musim gugur terlewati.
Entah berapa banyak bunga yang gugur.

Mereka tetap lewati jalanan ini.
Berpegang tangan.
Peluk mesra.
Terkadang kecupan melayang di kening sejoli yang tak terpisahkan.

2.4.10.

Jalanan ini memang tak bernama. Tapi jalanan ini penuh makna. Terserah kau mau katakan apa.

Di setiap musim gugur. Dedaun mulai berjatuhan. Bunga bunga tak lagi betah di tangkainya. Ketika itu kau akan tau (si) apa jalan ini.

Dimana cinta kita sayang?

0komentar
Ini hujan yang sama.
Hujan yang dulu pernah warnai hari hari kita berdua.
Aku tak'an pernah lupa.
Tak'an pernah sirna dari ingatanku ini.

Ketika itu.
Sang surya tlah terlelap.
Langit di taburi jutaan bintang.
Berkelip indahkan malam.

Ketika 10 tahun yang lalu.
Kau rangkul tubuhku.
Tubuh kecil dan lemah ini.
Kau gendong dan bawaku kesini.
Disini diruangan dimana kita bercumbu untuk pertama kalinya.

Ketika itu.
14 februari 1995.
Itu malam pernikahan kita.
Malam yang melelahkan.
Tapi cinta penuhi seisi ruangan ini.

Iya.
Itu malam pertama kita.
Malam dimana kita memadu kasih.
Lepaskan hasrat.

Dunia hanya milik kita.
Di ranjang besar.
Berkelambu emas.
Bertburkan bunga mawar merah.
Semerbak harum.

Ketika itu.
Tepat jam 10 malam.
Kau mengucap janji setia.
Bersumpah demi Tuhan.
Bersumpah di bawah nama ibumu.
Kau tak'an tinggalkan aku.

Kau belai setiap lekuk tubuhku.
Kau kecup.
Terbangkan aku hingga langit ke tujuh.

Ah...
Betapa nikmatnya malam itu.
Kau curahkan seluruh kasih sayangmu padaku.

Tapi.
Itu 10 tahun yang lalu.
Dan sekarang semuanya berbeda.

Hujan yang turun berbeda rasa.
Desahan angin tak lagi sejuk'an hati.

Apa yang terjadi?
Apa?

Apakah kasih sayangmu tak seperti dulu lagi?

Apakah 10 tahun tlah buat cintamu padaku kadaluarsa?

Uh....
Ku rindu belaianmu ketika itu.
Ku inginkan kecupan yang seperti dulu.

Meski tak diranjang yang sama.
Dan waktu yang tlah berjalan.

Mungkinkah cintamu tlah terkikis oleh waktu?

Ku tak temukkan senyumanmu di kamar ini.
Desahan desahan kita tak terdengar lagi.

Aku di tertawakan tembok tembok putih ini.
Semuanya membisu.
Semuanya membatu.
Ketika ku tanyakan pada mereka.
'Dimana cinta aku dan dia?'.
'Kemana ku harus mencarinya lagi?'.

Dia masi ada.
Dia masi makan sarapan yang ku sajikan.
Kami masi tidur bersama.
Tapi semuanya tak seperti dulu.

Dimana janji setiamu padaku?
Sumpah setia atas nama Tuhan dan orang tuamu?

Apa yang salah denganku?

Iya.
Sekarang aku renta.
Aku mengidap penyakit.
Aku jalang.
Aku tak bisa puaskan hasratmu.
Tapi haruskah seperti ini?

Apakah kau masih cintaiku?

31.03.10.

Haruskah secepat itu cinta ini kadaluarsa?
Haruskah semuanya dengan cepat terkikis oleh waktu?

Cintaku tak'an pernah lekang oleh apapun.

Dari : cinta seorang istri pada suaminya.

Purnama tak seperti itu.

0komentar
Kenapa dengan malam ini?

Hening tak lagi terdengar.
Desah malam tak jua memggoda.

Apa yang salah dengan malam?

Bukankah kini purnama?

Bulan bersinar terang.
Menyingkap setiap kegelapan yang ada.

Tapi kenapa dengan bulan?
Cahayanya tak seterang biasanya.
Diapun serasa kehilangan nuansa romantisnya.

Aku terdiam menatap bulan.
Aku tak gila!
Hanya ingin nikmati keindahan dewi malam.
Menjamah setiap lekuknya dengan mataku.

Tapi, apakah ia benar benar indah?

Apakah aku yang tak bisa menikmatinya?

Denpasar.
29.03.10.

Ku ragu. Apakah bulan itu indah? Tapi ini purnama,sayang.

Diterbangkan kekunang.

0komentar
'ikuti arus ini',kata seorang tua.
Ketika ku mulai langkahkan kaki di penepi sungai jernih ini.
Riuh terdengar.
Gemericik air beradu dengan hembusan angin.

Ku melangkah tiada henti.
Ku mencari hulu sungai ini.

Berjam jam.
Apa aku yang tak sabar?
Atau tetua itu menipuku?

Iya.
Ia janjikan aku kan temukan indahnya alam disana.
Tapi dimana?
Katanya itu lebih indah dari dunia surgawi.
Tapi apa?
Aku tak temukan apa pun.

Hingga senja mulai mewarnai bumi.
Langit jingga merekah di ufuk barat.
Ku tetap melangkah.
Tujuan ku sama.
Tapi aku tak tahu dimana kan ku temukan tujuanku itu.

Air mulai tenang.
Siulan burung tak lagi terdengar.(apakah tadi aku mendengarnya?)
angin yang sedari tadi meniup niup tubuhku.
Tak bisa ku rasakan.
Apa aku mati rasa?

Di depanku hanya terpampang kabut.
Dikala malam mulai tiba.
Tak ada bintang.
Tak ada bulan.

Aku teringat akan kata kata orang tua tadi.
'Jalanlah hingga kau raih hulunya,jangan pernah kau membatalkan perjalanan ini.'

Sumpah.
Aku dibuatnya mati penasaran.
Ku terobos kabut itu.

Ah...
Tak ada apa apa.
Tai pun tak ada.

Aku lelah.
Ku rebahkan badanku.
Mataku tak mampu terpejam.

Samar samar aku mendengar suara jangkrik.
Mereka bernyanyi.

Diatas sana.
Ratusan bahkan ribuan kekunang terbang.
Apa ini keindahan yang dimaksud?

Gelapnya malam begitu terasa terang.
Tubuhku tak bergerak.
Matakupun mulai terpejam.

Bukan tidur.
Hanya ingin menyatu dengan semua.

Tubuhku terasa tak menyentuh tanah.
Apa kekunang itu menerbangkanku?

Duhai...
Inikah yang dikatan orang tadi?

Tak menyesal memang.

Mungkin inilah surga yang sesungguhnya.
Menyatu dengan alam.
Merasakan setiap desahannya.

28/03/10.

Terpejam ku nikmati malam.
Kekunang terbangkan aku. Sayup sayup angin hantarkan ku jua ke surga yang sesungguhnya.
Duhai nikmatnya.
 

MOYO © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates