di gengamku

0komentar
Ku genggam. Seuats senyum yang dulu pernah kau beri.
Kan ku simpan. Hingga suati hari nanti kau tak tersenyum lagi padaku.

Seperti kusimpan gemintang.
Akan kujadikan pelita untukmu.

Kasih

bidadari tertawa 2

0komentar
ingat kah kau?
ketika tetes demi tetes air mata jatuh di semak yang tandus.
di mana asaku terbenam di hamparan padang pasir emas.
bidadari semakin girang tertawa.

menikmati detik demi detik derita yang aku rasakan.
mereka puas.
tertawa terpingkal pingkal.
mencercaku dengan makian dan umpatan,
yang membuat api kian membesar melalap aku dan mungkin asaku yang tertinggal.
menguak ke gundahan jiwa akan hilangnya harapan.


lelah aku mendengar tawa jenaka yang bagai neraka.
menghujam setiap derita dengan tusukan panah.
bukan panah asamara, tapi panah beracun dengan ujung berlumuran garam yang kian buatku meringis perih.
aku tersungkur tapi bukan mati, aku hanya diam menikmati.

kulitku kian melepuh.
tulangkupun terasa mau hancur.
aku tak sanggup lagi berdiri ataupun berdikari.
mulutku membeku tapi dalam lalapan api.

hujan turunlah.
hentikan tawa bidadari biadab yang berlagak sebagai pencipta.
guyurlah mereka dengan derasmu, buat mereka tunggang langgang.
hingga aku bisa duduk, hanya duduk dan tidak lebih.

hujan.
mungkikah asaku ada di antara rintikanmu yang mengalir di setiap lekuk tubuhku?
aku tak peduli perihmu, aku hanya ingin kau bawakan aku sedikit harapan.
hanya sedikit saja, harapan dari asa yang hilang.

aku tak ingin mendengar gelak tawa mereka lagi.


Ubud, 18 September 2010

bidadari tertawa

0komentar
Seperti langit.
Yang kian membiru, menahan sejuta tawa jenaka para bidadari.
Menghayutkan impian yang tertunda.
Tapi kemana?

Ke surgakah?
Mencari bidadari yang tertawa.
Atau ke bumikah?
Mencoba temukan asa di balik semak belukar di padang gurun.

Tawa sang bidadari kian menggelegar.
Buat langit kian gelap.
Asa ya ng dicari pun tak terlihat.
Membuta diantara gelak tawa.

Terdengar tetesan air mata.
Beriak diantara semak semak yang kering siap terbakar.
Inginku melompat membakar sejenak tubuh yang mulai lemas.
Mencoba menguak asa disana.

Setengah tubuhku melepuh.
Air mata mengucur seiring perihnya luka pada tubuhku.
Asa itu tak kunjung muncul.
Apa mungkin iya ikut terlalap api?

Rintihan dari mulut ini tak mampu redakan perih.
Ku seka air mataku.
Aku relakan tubuhku hangus tak tersisa.
Demi asa yang tlah hilang.




Denpasar, 16-09-2010

abortinus

0komentar
Namaku Abortinus.
Aku terlahir dari rahim yang membiru.
Membusuk diantara liang kenikmatan yang menggoda.
Menganga lukaluka bekas derita.

Aku terlahir diantara belatung.
Yang menjelma bak siluman di bulan purnama.
Buas dan teteslan liur kebusukan.
Sebusuk bangkai padang gurun.

Aku tak berlengan.
Kepala berlubang bekas hujaman dan sayatan.
Sisakan perih.
Seperti tercabik cabik.

Darah masih mengalir di setiap lekuk tubuhku.
Dari mataku.
Dari telinga dan hidungku.
Dari dada yang membusung, bukan menantang tapi membusuk.

Lalat dan belatung menjadi kawan setiaku.
Bercengkrama dengan darah.
Berjibaku dengan bau busuk yang menusuk.
Aku mati karena rahim.

Aku Abortinus.
Aku bukan manusia.
Hanya segumpal darah dari rahim yang menganga.
Hanya se untai impian asa yang terbuang.

Menjelma diantara kebusukan.
Aku tersenyum diantara busuknya derita.


Denpasar, 08-09-2010
 

MOYO © 2010

Blogger Templates by Splashy Templates